Beberapa kejadian belakangan ini mengingatkan saya pada kata-kata seorang teman. Beberapa tahun yang lalu, seorang teman keturunan Cina pernah bilang kepada saya.
Kata kakek saya, jangan pernah buka toko kalau gak bisa senyum
Saya pikir, itu banyak benarnya juga. Terlepas kata-kata itu diucapkan saat setengah mabuk dan diragukan kebenarannya –kebenaran kalau memang kakek temen saya itu benar-benar bilang begitu. Ketika kita berani membuka toko, mau tidak mau kita mesti banyak senyum biar pembeli ndak pada kabur dan beli di toko sebelah.
Senyum ketika melayani pembeli yang mau mengeluarkan uang buat kita sih wajar. Keterlaluan malah kalau saat saat kita menerima duid kok mukanya bikin empet. Jelas pada kabur lah kalau begitu caranya. Senyum saat tahu akhirnya pembeli itu jadi langganan juga memang sudah seharusnya. Wong dengan begitu cuan masuk pundi-pundi dan menambah kekayaan kita. Tapi, ada beberapa senyum lagi yang sering kita lewatkan. Yang sebenarnya gak kalah pentingnya dari senyum ketika dapat keuntungan.
Jualanmu Jelek!
Saat dibilang begitulah kebisaan senyum kita mendapatkan tantangan yang luar biyasa. Macem-macem reaksi bisa kita pilih. Kita bisa saja dengan entengnya bilang: emang sampeyan bisa bikin? Emang sampeyan pernah jual? Enak aja bilang jualan saya jelek! Bisanya kok cuma njelek-njelekin. Situ ndasuka sama toko saya ya? Atau…
Emang jeleknya dimana? Bisa kasih tahu gimana bagusnya? Kalau nanti jadi lebih mahal atau datengnya lebih lama, kira- kira pada masih mau beli ndak ya?
Dua duanya gak salah. Kita sendiri yang nentukan. Tapi kira-kira, lebih asik direspon yang mana? Kalau saya sih bakal tak ajak berantem yang punya toko kalau ngerespon pake cara pertama.
Hamid, yang sedang mencoba bertahan hidup dengan jualan.