Jakarta: Sebuah Teaser?

Belum lama ini, saya berkesempatan mengunjungi ibu kota. Di episode terakhir yang tidak lama itu, agak berbeda dengan biasanya. Kali ini saya datang untuk “bekerja”. Bukan urusan lain-lainnya. Hhe…

image

Pemandangan itulah kira-kira yang saya lihat dalam beberapa hari saya di Ibukota. Apa yang saya lakukan selama saya disitu? Ya ini, ya itu, macem-macem. Tapi yang jelas, bukan hal-hal penting. Hanya hal-hal kecil saja, kasih semangat ke orang-orang lain yang bekerja lebih serius dari saya misalnya.

Kerjaan yang gak seberapa lama ini mungkin menjadi teaser untuk saya kembali ke ibukota.

Lho? Kembali? Mungkin. Bisa ya, bisa tidak. Saya sangat cinta Jogja, dengan monarki dan kenyamanan hidupnya. Saya pengen banget untuk membangunnya, membuat semacam iklim yang asik di sana.

Saya cinta teman-teman saya. Saya telah memulai beberapa hal, mencoba dan kembali mencoba. Tapi terkadang, jenuh dan jengah menghampiri saya, melihat kenyataan, kalau Jogja terutama sirkel saya, jauh dari harapan saya.

Lalu akankah saya menyerah begitu saja dan kembali (lagi) ke ibukota? Bisa jadi, kita lihat saja nanti.

Hamid, yang menulis sambil geleng-geleng kepala karena Jogja agak sedikit berbeda dengan bayangan di kepalanya.

Tentang Tomat; Sebuah Post Untuk Seorang Teman

Seorang Jurnalis Inggris bernama Miles Kington pernah berujar:

“Knowledge is knowing that a tomato is a fruit. Wisdom is knowing that a tomato doesn’t belong in a fruit salad.”

Sederhana memang, tapi akan menjadi agak sedikit rumit penerapannya di kehidupan sehari-hari, terutama ketika sudah tidak menyangkut tentang tomat yang ndak jelas identitasnya. Apakah harus dipaksakan menjadi sayur, sementara secara de jure –halah dia itu buah.

Tak banyak yang sudah tahu, atau berkesempatan tahu kalau tomat itu masuk dalam kategori buah-buahan, karena sudah anggapan hampir semua orang bahwa tomat itu adalah sayur. Satu dua dari kita mungkin mendapat kesempatan untuk tahu kalau tomat itu adalah buah, tapi toh memaksakan bahwa tomat adalah buah ke orang-orang  yang sudah terlanjur beranggapan tomat itu sayur tidak selalu menjadi hal bijak.

Buat apa? Adalah pertanyaan yang paling mendasar. Supaya orang-orang tahu kalau kita berpengetahuan lebih luas? Apa manfaatnya kalaupun pada akhirnya orang mengakui kalau pengetahuan kita lebih luas. Pol mentok ada sedikit rasa bangga karena kita berbeda. Begitu? Atau, kita menjadi lega karena telah menyelamatkan orang dari kesesatan karena menganggap tomat itu sayur?

Cukup besarkah manfaat sesudahnya? Hal itulah yang menjadikan bahan pertimbangan. Kalaupun iya, ya mau bagaimana lagi, lakukan! Kalau tidak, toh itu cuma tomat. Tidak akan ada yang tersakiti dengan menganggap tomat itu sayur.

Hamid, yang sadar bahwa kata-katanya sedang belepotan, tetapi merasa perlu untuk menyampaikan perkara tomat yang terlanjur menjadi sayuran.

Pakdhe Il dan Snack Sisa Rapat

Tersebutlah di suatu masa ketika saya kecil. Ketika istilah rapat belum tergantikan oleh meeting yang lebih ngelondho. Ada seorang saudara dari bapak, anak dari kakak simbah saya. Saudara itu akrab saya panggil dengan Pakdhe Il.

Pakdhe Il tinggal di desa Cangkringan, sangat jauh dari pusat kota Jogja. Yang berarti juga cukup jauh dari rumah saya kala itu, yang meskipun pinggiran, tidak jauh dari pusat kota. Pakdhe Il ini adalah salah satu pengurus Muhammadiyah, ormas yang cukup aktif terutama di Yogyakarta.

Sekali dua kali dalam sebulan, Pakdhe Il ini harus ke kota untuk mengikuti rapat ormas yang diurusnya. Setiap kali rapat, Pakdhe Il kadang menyempatkan diri mampir ke rumah bapak untuk sekedar ngobrol atau tanya kabar. Ada satu hal yang istimewa dari kedatangan Pakdhe Il ini. Selalu saja beliau tidak lupa membawakan saya snack atau makanan kecil konsumsi rapat beliau. Beliau rela tidak memakan snack rapat itu, untuk dibawakan kepada saya. Sebagai anak kecil, saya tentu dengan suka cita menerima pemberian Pakdhe Il tersebut. Dan bapak dengan tanpa bosan berkata hal yang hampir sama pada Pakdhe Il

“Oalah Mas, kok le repot-repot, hambok didahar wae. Malah digawakke nggo purunane”, dan Pakdhe Il pun menjawab:

“Ya rapapa ta dik, wong jeneng purunan.”

Kini, bertahun-tahun setelah kejadian itu, ketika saya tak lagi menjadi anak kecil, ketika Pakdhe Il mendahului saya dan bapak menghadap Gusti Pengeran. Saya pun teringat kembali akan kejadian-kejadian itu. Teringat akan Pakdhe Il yang rela tidak memakan snack rapatnya, hanya untuk diberikan kepada saya, purunan-nya. Hal yang sangat biasa saja di pikiran saya kala itu sebagai anak kecil.

Selamat jalan Pakdhe, hanya Gusti Pengeran yang bisa membalas kebaikan-kebaikanmu kepada Purunanmu ini. Bahagialah disana.

Ngayal Babu

Beberapa hari ini, saya kok jadi sering kepikiran, membayangkan yang tidak-tidak seandainya saya dulu begini, seandainya saya dulu begitu.

Pengen ini, pengen itu. Tapi kok ya, duh. Kepentok lagi sama keadaan. Hal-hal yang seharusnya bisa saya dapat atau laksanakan, kok ya malah masih di awang-awang.

Sepertinya saya harus melakukan sesuatu kali ini, mengurangi idealisme, memakai kacamata kuda dan berbuat untuk diri sendiri.

Hamid, yang kepikiran utang di sana-sini, harus ganti xbox kumpeni, dan juga rabi…

Apatis

Menurut kateglo, apatis bisa diartikan sebagai acuh tidak acuh; tidak peduli; masa bodoh.

Begitulah mungkin yang sedang terjadi pada saya. Saya menjadi apatis. Terpaksa atau dipaksa? Saya pun kurang tahu. Sedikit yang saya tahu, saya apatis karena waktu dan keadaan, yang bersama mereka merger menjadi sebuah pengalaman.

Pengalaman kurang menyenangkan kah yang membuat saya apatis? Tentunya. Pengalaman yang menyenangkan pasti membawa orang ke sisi lain, bersemangat, meletup-letup. Bukan membawa ke sebuah apatisme. — bah, apa pula itu apatisme? Apakah dia bahkan sebuah kata?

Ini, itu, anu.
Ketika saya sedikit lebih muda, saya meletup-letup penuh semangat untuk ikut serta atau minimal mendukung satu dua hal, yang dalam idealisme dan imajinasi saya, tergambar sebagai sebuah hal baik, minimal menyenangkan.

Save ini, save itu, save anu. Komunitas ini, komunitas itu, komunitas anu. Wacana ini, itu, anu. Macam-macam itulah. Selalu saya berusaha untuk ikut didalamnya. Minimal mendukung dan menyebarkan apa yang menjadi tujuannya. Tidak peduli saya mendapat apa atau justru kehilangan apa. Semua saya jalani dengan sukacita –halah. Tapi itu beberapa waktu yang lalu. Kini? Saya, apatis.

Ayo bikin ini, bikin itu, jalanin ini, biar begitu. Ajakan-ajakan semacam itu dengan apatisnya saya lewatkan. Bahkan, sekali dua kali saya berburuk sangka. Siapa lagi ni yang coba cari untung?

Yang Terhormat Kaos Swan

Beberapa waktu yang lalu, saya sempat menjanjikan untuk menulis tentang kaos Swan pada Om Sayur berdasar sudut pandang saya. Dan, baru sekarang bisa kejadian saya memenuhi janji saya.

Kaos Swan, beberapa dari kita mungkin lebih akrab dengan merk Jupiter hingga tak jarang pula yang lebih nyaman menyebutnya dengan kaos Jupiter. Adalah kaos tipis yang adem dipakai. Karena keademannya ini, banyak orang menjadikannya sebagai kaos dalam, atau kaos untuk dipakai di rumah. Bentuknya tidaklah istimewa, bahkan entah kenapa karena ketidak istimewaan si kaos ini, banyak yang bilang kaos ini bukan kaos yang pantes untuk dijadikan kostum bepergian.

Tapi, dari sekian banyak pandangan miring kaos swan, kaos ini adalah kaos yang sungguh nyaman. Hingga di penghujung hari, bersantai bersama kaos swan adalah oase di tengah kegersangan perjuangan bertahan hidup.

Di penghujung hari, bukan jas, baju sutra, atau macam-macam adibusana yang membuat orang berdecak kagum yang akan kita cari, tapi hal yang menyamankan, seperti kaos Swan.

Hamid, yang menulis karena Roy Sayur, dan menjadikan tulisan ini ode untuk calon pendamping masa depan, yang datang entah kapan.

Bang Bang Krut, Akar Gulang Galing

Entah apa yang saya pikirkan sewaktu saya menulis judul itu. Tapi yang jelas, sedikit ada hubungannya dengan isi tulisannya. Semoga sih.

Di tulisan ini saya akan membuat sebuah alasan, pledoi atau apalah namanya saya nurut aja, tentang kegiatan blog mengeblog saya yang sungguh jarang update.

Sibuk

Iya, saya terlalu sibuk. Sibuk untuk bertahan hidup. Hingga tak sempat lagi buat nulis beberapa kata di blog ini. Seberapa sibuk sih? Ah, ndak terlalu sebenarnya. Tapi efek samping dari kesibukan saya yang ndak seberapa itu menimbulkan collateral damage yang kurang menyenangkan bagi keapdetan blog ini.

Beberapa usaha dan trik sudah saya coba. Termasuk meminta beberapa teman membagi ide tulisannya. Om Sayur misalnya, sudah memberikan saya ide untuk menulis tentang kaos Swan. Ide dan apa yang akan saya ceritakan sudah di otak. Tapi toh saya masih terlalu sibuk buat menuangkannya di blog ini.

Sibuk bertahan hidup, atau singkatnya bangkrut dan harus berusaha ekstra keras untuk kembali hidup merdeka. Itulah kira-kira kesibukan saya sekarang. Dan apa hubungan bangkrut dengan tidak ngapdet blog? Tulisan teman saya yang naudzubillah menyebalkan ini mungkin bisa memberikan sedikit gambaran tentang hubungan keduanya.

NB:
Buat Om Sayur, maaf yah, kaos swan nya sedikit tertunda, dan buat DV, kalau sampai keluar pingback di tulisanmu, anggap saja aku numpang tenar. Wis ngono ae.

Suatu Senja di Musim Duren: Sebuah Tinjauan Tentang Imbal Balik Dalam Pergaulan Masyarakat Modern

Lupakan judulnya! Kenapa? Saya juga tidak paham. Dan itu cuma secocot cocotnya saya saja. Jangankan sampeyan, saya yang nyocot saja ndak paham.

Lalu apa maksud dan tujuan saya bikin tulisan ini? Seperti biasa, ndak lebih dari semacam katarsis, penumpahan apa yang saya rasakan. Ndak menarik memang, lebih menarik susu yang tumpah karena beha push up. Bukan tumpahan perasaan apalagi kekesalan.

Potensi dan peluang, alasan untuk tidak ditinggalkan.

Pernahkah kalian mendengarkan

Oh, itu bisa nih diginikan, bisa tu diajak begini terus dimanfaatkan itunya. Nanti kita bisa begini begini atau begitu begitu.

Atau

Kerjasama sama dia wae, soale begini begini, nanti kan bisa begini. Gampanglah.

Sering yah? Dan apa yang terjadi ketika kalian sudah tidak bermanfaat lagi. Kalian jadi ndak asik. Ndak cool. Mending jauh-jauh, ndekati semua yang lebih berpotensi, lebih bisa dimanfaatkan. Dan barulah kalian didatangi lagi kalau kalian sudah menjadi satu-satunya orang yang kembali menerima pertemanan meski dalam hati sebenarnya penuh umpatan.

Asas manfaat, dasar hubungan masyarakat modern kekinian

Masyarakat yang sering dicap modern ini memang tak jarang kejam. Ketika sampeyan (dianggap) bermanfaat, sampeyan digadang-gadang. Selalu ada pembenaran atas kesalahan sampeyan. Tapi ketika sampeyan sudah menjadi ampas? Paling cuma dianggap ada. Itupun masih mendingan.

Lalu, bagaimana kita bertahan? Paling gampang, jadilah sukses, orang sukses tak pernah salah. Atau jadilah bermanfaat, kalaupun itu tak bisa, jadilah tampak bisa dimanfaatkan. Jadilah panjatan, atau kalau kalian sudah dibawah, relalah jadi pijakan. Niscaya, kalian akan dianggap menyenangkan. Kalau tidak bisa? Lupakan!

Hamid, seseorang yang merasa gagap dalam pergaulan modern kekinian.

Cerita Tentang Pohon

Suatu hari, belum lama ini. Saya mampir beli es di warung, di bawah sebuah pohon beringin yang rindang. Ada hal menarik di tempat itu. Iya, di pohon rindang itu.

Pohon itu, selain memberi penghidupan bagi beberapa pedagang yang mangkal, juga memberi kesejukan pada banyak orang lewat yang kepanasan seperti saya. Berteduh sejenak dari panasnya cuaca di bawah pohon itu, sebelum akhirnya meneruskan kembali perjalanan ke tempat tujuan mereka.

Si pohon tidak pernah menjadi rumah. Tak pernah dengan sengaja diingat. Tak pernah menjadi tujuan, setidaknya kalau sedang tidak ada perlunya.

Lalu dalam hati saya bilang: Hon, nasib kita beda tipis ya hon?