Arsip Kategori: blablabla

Jaga Diri Baik-Baik

Seorang teman pernah bilang:

Jaga dirimu baik-baik, bisa jadi kamu adalah alasan bagi seseorang.

Memang, teman saya itu terkenal dengan jarang seriusnya, tapi ketika sodara beliau ngomong, bisa dipastikan ada alasan dan dasarnya. Hal itulah yang membuat saya jadi berpikir. Lama bener saya pikirkan perkataan teman saya itu. Alasan? Alasan apa? Si teman sukses membuat saya manggut-manggut untuk beberapa lama sebelum datang momen ah iya itu, yang kalau di kartun atau komik muncul gambar lampu bohlam yang menyala.

Setiap kita, meskipun gak selalu kita sadari bisa jadi adalah alasan seseorang untuk melakukan sesuatu. Apapun itu. Kita yang termasuk cerdas, mungkin adalah alasan orang lain untuk tetap belajar, kita yang termasuk sukses, mungkin adalah alasan orang lain untuk terus berusaha meraih mimpi. Dan mbak-mbak yang cantik dan suweksi, bisa jadi sampeyan-sampeyan adalah alasan seseorang untuk melakukan onani :mrgreen:

Jadi, jagalah diri baik baik. Jangan pernah sembrono pada diri sendiri. Bawa diri baik-baik. Jika tidak, bisa jadi kita akan mengecewakan seseorang, karena sekacau apapun kita bisa jadi adalah alasan buat orang lain. Baik itu memotivasi, atau cuma bahan onani.

BII: Bank Inang-Inang

Kembali ke kota yang pernah dianggap fasis sempurna di salah satu tulisan berbahasa asing ini memberikan kesan tersendiri buat saya. Campur aduk macem-macem. Ada seneng, ada ruwet, ada semua lah. Di kota bernama Jakarta ini saya memang menyimpan beberapa cerita. Ah iya, saya hanya pengunjung musiman saja kali ini. Belum ada alasan atau pekerjaan lagi untuk membuat saya menetap di kota bundet yang serba ada ini.

Dari bandara kota ajaib ini — yang sebenarnya berada di kota sebelahnya, saya perlu ke sebuah daerah yang namanya mirip daerah asal tukang burjo. Saya menumpang taksi bertarif bawah. Dan duduklah saya di sebelah supir. Entah kenapa saya lebih senang duduk di depan. Hal yang tampaknya kurang lazim hingga kadang membuat beberapa supir taksi bingung.

Apakabar pak?

Dan beberapa percakapan basa-basi antara saya dan supir taksi yang bolehlah kita sebut saja Jono.

Jalanan agak biasa kali ini, tidak macet sadis. 30 sampai 45 menit perjalanan saja untuk menuju ke arah tujuan. Ndak terlalu lama. Tapi kalau diem thok ya ngakik juga. Jadilah Pak Jono dari Semarang ini saya ajak ngobrol ngalor ngidul.

Saya: Rame pak?
Jono: Yah begitulah mas, namanya bulan puasa. Kalau siang orang pada males keluar, kalau malam banyak tempat hiburan yang harus tutup.
Saya: Hari ini setoran sudah nutup?
Jono: Syukur lah mas, tinggal nyari lebihan buat dibawa pulang.
Saya: Ndak perlu ke BII dong ya?
Jono: (tertawa) kok mas e tahu BII?

Beruntung, pada suatu waktu saya pernah hampir tiap hari naik taksi. Dan hampir tiap hari juga saya ngajak ngobrol sang tukang taksi, karena tak jarang waktu bertaksi saya lumayan lama. Baik itu karena jarak, atau macet. Jadi sedikit banyak pengetahuan saya soal pertaksian ini jadi lumayan mumpuni –halah.

BII bukanlah bank nasional yang akhirnya dibeli bank luar negeri. BII adalah jargon populer diantara supir taksi, utamanya supir taksi setoran. BII kependekan dari Bank Inang-Inang, alias “bank” yang dijalankan personal, oleh orang per orang. Daerah operasi mereka tidaklah besar, paling satu pangkalan dan sekitarnya. Karena daerah operasi yang tidak besar, biasanya mereka hapal dan kenal dekat ke siapa-siapa saja yang ngutang, hingga tidak perlu menggadaikan barang ke mereka untuk mendapatkan pinjaman. Cukup dengan modal saling kenal dan percaya. Jasa yang harus dibayarkan ke BII ini memang sedikit lebih tinggi dari bank beneran. Tetapi fleksibilitas pembayaran dan kemudahan cairnya tak tertandingi! Lalu, kenapa akhirnya disebut BII? Ya karena yang menjalankan praktek ini hampir semuanya inang-inang.

Obrolan saya dengan Pak Jono melebar seru, banyak ngobrol ya ini ya itu, dan tak jarang disisipi sursol dari Pak Jono. Tak terasa sudah hampir sampai tempat tujuan saya.

Saya: Berhenti disana ya pak?
Jono: Siap! Mau ngapel ya mas?
Saya: Sembarangan! Darimana sampeyan bisa dapat kesimpulan semena-mena begitu?
Jono: Pas barusan masuk tadi saya denger obrolan masnya di telepon (sambil nyengir lebar)
Saya: Tak amini wae lah pak. Biar cepet.

Dan sayapun sampai. Kata-kata Pak Jono tadi masih terngiang. Dan tak tahu harus saya apakan. Mau diamini atau dibagemanakan…

Hamid, yang dunianya sedang terbolak-balik.

Bunga Rumput

image

Kalau ditanya, bunga apa yang saya paling suka, mungkin akan saya jawab bunga rumput.

Bunga rumput? Apa bagusnya? Banyak! Setidaknya kata saya. Bunga rumput itu unik. Tak semewah mawar, juga tak seharum melati. Si bunga ini tumbuh semau-maunya sendiri, kapan dan dimana kita tak pernah bisa tahu. Si bunga ini ndak isinan, bisa tumbuh bahkan di tempat-tempat yang ndak banget. Di lapangan, pinggir jalan, pekarangan, mana saja. Bahkan di tempat bunga lain tidak akan bisa bertahan.

Kebebasan si bunga rumput tidak cuma sampai disitu. Kita tidak pernah bisa mengaturnya untuk tumbuh dimana, juga belum pernah saya tau orang yang berhasil membudidayakannya. Bener-bener suka-suka dia sendiri. Tidak bisa diatur seperti apa yang kita mau.

Aneh ya soal apa yang saya suka ini? Tapi bagaimana ya? Yawes begitulah adane. Saya suka apapun itu, yang cantik dengan caranya sendiri.

Kirab Kesenian Itu

Sepertinya belum lama, saya digandeng ibuk saya untuk menonton kirab keliling kota itu. Belum lama juga, saya ngotot ngajak ibuk saya menghadang kirab itu bahkan sejak siang, demi bisa dapat tempat bagus, dan melihat kirab yang sungguh ramai itu dengan jelas. Dan ibuk saya pun dengan sabar menemani saya yang keras kepala ini untuk menghadang sang kirab, bahkan ketika jalan belum ditutup. Kirab itu membuat saya terkagum kagum. Ramai sekali, apa-apa ada. Bagus bagus! Tanpa tahu kirab dalam rangka apa. Pokoknya uapik!

Bertahun-tahun kemudian barulah saya tahu, kirab atau pawai itu dalam rangka sebuah festival seni. FKY, atau festival kesenian Yogyakarta. Tempat berkumpul, pameran dan banyak lagi buat orang-orang seni. Orang biyasa seperti saya pun bisa menonton macam-macam acara ataupun pameran karya disana. Meskipun banyak hal yang sebenarnya saya ndak paham apa yang mereka pamerkan. :mrgreen:

Sayapun masih sering menonton kirab yang sepertinya diadakan rutin itu, masih dengan kekaguman yang sama, ples karena pengen lihat beberapa teman yang terkadang ikut berpartisipasi. Meskipun sudah tidak sama ibuk lagi. Ibuk lebih sering menonton kirab bersama teman dan tetangga. Saya terlalu kikuk untuk bersama ibu-ibu itu, dan ibuk pun pasti kurang nyaman dengan pemuda-pemuda seniwen teman-teman saya itu.

Bertahun-tahun, kesan saya sama. FKY adalah kirab. FKY adalah pawai. Kesan saya tidak berubah, meski beberapa teman juga berpartisipasi tidak hanya saat kirab. Meski teman-teman saya seperti Mas Agus, Imam Abdillah, dan almarhum Tasiman sering mengajak saya nyeni disitu, tetap saja, di otak saya FKY adalah kirab. Entahlah, mungkin karena saya ndak terlalu paham, jadi rangkaian acaranya saya anggap membosankan.

Sudah FKY lagi!

Hari ini, FKY akan diadakan lagi. Sudah tahun ke 25. — lama juga ya? Dan apakah kesan saya masih kirab? Sepertinya tidak. Info program FKY tahun ini membuat saya berpikir lain. Wah, ngenomi! Tidak seperti biasanya. Entah ada angin apa. Yang jelas, saya cukup tergoda untuk menonton tidak hanya kirabnya. Ekspektasi saya naik. FKY ke 25 ini banyak acara yang menurut saya sangat WOW! Mulai dari video mapping, soundscape, dan teman temannya. Saking banyaknya acara yang sepertinya menyenangkan, saya malah bingung mau nonton yang mana saja. Ketoke apik kabeh je…

Hamid, yang sedang clingak clinguk cari barengan nonton FKY.

Menata Hati, Untuk Berdiri Dan Melanjutkan Lagi

Sudah setahun lebih yah ternyata. Trus sudah sampe mana? Sampai mana-mana, dan sayangnya balik lagi ke titik awal. Melelahkan memang.

Tapi apa ya mesti diam? Ya tambah modhiar kalau diam. Apa mesti menurunkan standar, melupakan idealisme? Entahlah, sepertinya saya masih terlalu keras kepala buat itu.

Apapun itu, saya harus melakukan sesuatu. Kembali ke titik awal dan mungkin harus mengulanginya lagi dan lagi. Sing penting tetep semangat. Yo ra?

Hamid, yang sedang menghitung hari lagi menuju tanggal 20.

Buka Toko

Beberapa kejadian belakangan ini mengingatkan saya pada kata-kata seorang teman. Beberapa tahun yang lalu, seorang teman keturunan Cina pernah bilang kepada saya.

Kata kakek saya, jangan pernah buka toko kalau gak bisa senyum

Saya pikir, itu banyak benarnya juga. Terlepas kata-kata itu diucapkan saat setengah mabuk dan diragukan kebenarannya –kebenaran kalau memang kakek temen saya itu benar-benar bilang begitu. Ketika kita berani membuka toko, mau tidak mau kita mesti banyak senyum biar pembeli ndak pada kabur dan beli di toko sebelah.

Senyum ketika melayani pembeli yang mau mengeluarkan uang buat kita sih wajar. Keterlaluan malah kalau saat saat kita menerima duid kok mukanya bikin empet. Jelas pada kabur lah kalau begitu caranya. Senyum saat tahu akhirnya pembeli itu jadi langganan juga memang sudah seharusnya. Wong dengan begitu cuan masuk pundi-pundi dan menambah kekayaan kita. Tapi, ada beberapa senyum lagi yang sering kita lewatkan. Yang sebenarnya gak kalah pentingnya dari senyum ketika dapat keuntungan.

Jualanmu Jelek!

Saat dibilang begitulah kebisaan senyum kita mendapatkan tantangan yang luar biyasa. Macem-macem reaksi bisa kita pilih. Kita bisa saja dengan entengnya bilang: emang sampeyan bisa bikin? Emang sampeyan pernah jual? Enak aja bilang jualan saya jelek! Bisanya kok cuma njelek-njelekin. Situ ndasuka sama toko saya ya? Atau…

Emang jeleknya dimana? Bisa kasih tahu gimana bagusnya? Kalau nanti jadi lebih mahal atau datengnya lebih lama, kira- kira pada masih mau beli ndak ya?

Dua duanya gak salah. Kita sendiri yang nentukan. Tapi kira-kira, lebih asik direspon yang mana? Kalau saya sih bakal tak ajak berantem yang punya toko kalau ngerespon pake cara pertama.

Hamid, yang sedang mencoba bertahan hidup dengan jualan.

Suatu Saat Kawan, Suatu Saat

image

Seorang kawan lama mengirimi gambar ini ke saya belum lama ini. Tepat disaat keadaan saya amburadul acakadut. Tepat ketika saya berada di salah satu titik terkacau hidup saya. Asu memang. Tapi entah kenapa hal ini bisa membuat saya tersenyum dan bersemangat lagi.

Suatu saat kawan, ketika aku sudah “jadi orang”, akan kutunjukkan pada keluargaku nanti dan bilang. Inilah salah satu hal yang membuat aku masih bisa disini.

Suatu saat kawan, suatu saat…

Diam Sebentar

image

Diantara kechaosan hidup saya akhir-akhir ini. Ada juga satu dua hal yang menenangkan hati. Salah satunya kucing ini.

Ini adalah kucing yang datang entah darimana semingguan lalu. Tiap malam dia pasti naik ke kasur saya dan nyusul tidur.

Hari ini dia nyusul tidur lagi. Dan dengan selonya saya selimuti. Trus tak lihati tidurnya. Well, gak semenyenangkan nyelimuti dan lihat anak orang tidur sih, tapi tetap saja menyenangkan dan menentramkan hati 🙂